Tuesday, March 18, 2008

Industri pendidikan vs industri sepakbola

Ada pepatah “pelanggan adalah raja”. Di era globalisasi sekarang yang terjadi adalah, jika konsumen adalah raja, maka industri adalah Kasparov. Saat ini boleh saja konsumen dimanjakan oleh banyaknya produk dengan kualitas yang terbaik, tapi pada dasarnya merekalah yang dikendalikan oleh produsen agar terus membeli produk mereka berapapun harganya.

Di eropa sana, sepakbola telah menjelma menjadi industri raksasa yang sangat kokoh. Sepakbola berhasil membuat orang asia terkena sindrom insomnia parah, bangun tengah malam, begadang sampai subuh hanya untuk melihat tim favoritnya bertanding melalui televisi. Jutaan euro mereka terima dari penjualan kaos bertuliskan nama dan nomor di punggung. Dan mafiapun kerap terlibat dalam hal pengaturan skor demi uang judi bernilai jutaan poundsterling.

Memang sepakbola yang professional adalah salah satu industri yang menggiurkan dan sebenarnya jika Indonesia dapat meniru sedikit saja ke-profesionalan dari negara yang telah maju sepakbolanya maka beberapa masalah mendasar dalam negeri dapat teratasi.

Saat ini terdapat kurang lebih 120 klub professional dan lebih banyak lagi klub semi professional, jika setiap klub memilik minimal 23 pemain ditambah minimal 1 pelatih, 1 manajer tim, 3 asisten pelatih (asisten pelatih, pelatih fisik dan pelatih kipper), 1 massieur dan 3 offisial lainnya maka akan terdapat sekitar 3000 lebih lapangan pekerjaan yang menuntut keahlian dan porfesionalisme yang tinggi. Kompetisi dengan atmosfer yang baik (hasil dari pemain yang professional dan ber-skill) akan mengundang perusahaan untuk mensponsori klub dan kompetisi itu sendiri, nilainya dapat bernilai milyaran Rupiah dan uang yang berputar dalam bentuk modal dan expenditure pun otomatis akan besar dan hal ini akan merembet kepada iklim ekonomi yang lebih baik pula, sebuah efek domino yang sangat besar. Televisi pun akan berlomba untuk mendapatkan hak siar, nilainya dapat mencapai milyaran juga apalagi jika mendapat hak siar ekslusif. Belum lagi pemasukan dari tiket pertandingan, ribuan orang lebih memilih menonton langsung tim pujaannya di lapangan. Dengan rata rata 20.000 orang per pertandingan (rata-rata penonton Persib di stadion Siliwangi musim 2006/2007) dan harga tiket yang berkisar antara Rp.15.000 sampai Rp.75.000 (harga tiket masuk stadion Siliwangi untuk pertandingan Persib) maka setiap bertanding pemasukan dari tiket mencapai 400 juta lebih. Belum lagi klub yang memiliki stadion dengan kapasitas yang lebih besar.

Stadionpun dituntut agar representative, nyaman, aman dan berarsitektur tinggi. Akses menuju stadion, lapangan parkir, transportasi umum menuju stadion, taman dan green belt di sekitar stadion dan sarana penunjang lainnya harus sangat baik. Hal ini akan membuat penonton berpikir dua kali jika ingin rusuh, stadion yang nyaman akan membuat emosi penonton dapat diredam sehingga resiko terjadi kerusuhan sepakbola menajdi kecil.

Sepakbola professional juga menuntut setiap klub agar memiliki pengembangan berjenjang sebagai bagian dari mendidik dan mencetak pemain agar berkualitas dan professional , dengan kata lain setiap klub harus memiliki tim junior yang mereka bina sejak usia dini. Bukan hanya tehnik sepakbola yang dididik tapi juga pendidikan formal lainnya, dan semua ini ditanggung oleh klub. Dengan begitu setiap anak kecil akan memiliki pendidikan dasar yang optimal dan skill sepakbola yang tak kalah baiknya. Pengembangan sejak dini inipun bagus untuk mengangkat nama bangsa di ajang internasional, dengan latihan sejak dini mereka suatu saat akan tampil membela timnas dan mengharumkan nama bangsa (karenasejak kecil telah dilatih untuk pofesional).

Selain di tingkat klub, sepakbola profeionalpun mendidik anak – anak untuk berkompetisi dalam kompetisi tingkat sekolah dan universitas. Banyak sekali terdapat bibit – bibit potensial yang dapat diasah di kompetisi level ini. Kompetisi tingkat sekolah dan universitas adalah sebuah ajang yang baik untuk menanamkan sikap sportivitas, kebersamaan, profesionalisme dan nasionalisme.

Industri Pendidikan

Jika semua itu menjadi kenyatan maka efek domino yang besar akan terjadi, pengangguran berkurang, pendidikan dasar untuk anak – anak terpenuhi, iklim ekonomi yang baik dan pembangunan infrastuktur yang juga baik dan nama Indonesia di mata persepakbolaan internasional akan terangkat, bukan tak mungkin jika suatu saat kita menjuarai piala asia atau bahkan piala dunia.

Tapi, industry yang lebih sukses di Indonesia adalah industry pendidikan. Ironis, sesuatu yang seharusnya menjadi hak setiap anak Indonesia semakin hari semakin menjadi barang mahal bagi ribuan generasi penerus bangsa ini.

Data dari 33 kantor komnas perlindungan anak (PA) di 33 provinsi mengungkapkan, 11, 7 juta anak putus sekolah di tahun 2007 (kompas, 18 maret 2008). Beban ekonomi yang semakin berat karena tingkat inflasi yang gagal dikendalikan pemerintah membuat anak – anak dikorbankan, mereka lebih baik bekerja sebagai pengamen, pemulung, kuli bangunan dan semua jenis peerjaan yang tidak membutuhkan banyak keahlian lainnya daripada menghabiskan uang orangtua, yang didapat dengan susah payah dan hanya sedikit itu, untuk suatu investasi yang tak pasti (high risk investation).

Berdalih untuk mewujudkan universitas yang berkelas dunia, World class university, pemerintah men-swastakan perguruan tinggi negeri dengan alasan tingginya biaya operasional pendidikan (operational cost) tapi juga mengurangi subsidi pendidikan dasar dan menengah, membuat banyak sd dan smp negeri mengalami degradasi kualitas. Bangunan yang hampir roboh, staf pengajar yang bergaji rendah, dan berbagai masalah lainnya.

Dibalik semua itu, karena alasan perekonomian global yang sedang terpuruk pemerintah nekat mengurangi anggaran pendidikan di APBN. Sesuatu yang menyalahi konstitusi dan dipikir baik untuk perekonomian. Mungkin hal itu baik untuk jangka pendek tapi dalam jangka panjang, bertahun – tahun kedepan jumlah tenaga kerja berkualitas Indonesia akan menurun drastic, hal itu sangat tidak baik bagi perekonomian yang diharapkan tumbuh terus sampai mencapai 7%. Tanpa tenaga kerja berkualitas maka usaha – usaha formal akan sulit berputar, rakyat akan gagal mendapat pekerjaan yang layak yang berlanjut pada pendapatan perkapita yang kecil. Hal ini akan menyebabkan tingkat kesejahteraan yang buruk.

Pendidikan adalah dasar bagi seluruh aspek kehidupan. Menjualnya pada korporasi hanya akan membuat generasi penerus kita bemental kapitalis, sebuah mental yang seharusnya dimiliki oleh insan olahraga negeri ini untuk memajukan dunia olahraga negeri ini. Olah raga dan pendidikan seharusnya dapat menjadi alat untuk menjual nama bangsa kita di pentas internasional. Mungkin anak – anak muda negeri ini banyak menjuarai olimpiade MIPA di tingkat dunia, tapi standar deviasi (deviation) kualitas pendidikan terlalu tinggi, di saat sepuluh murid mengharumkan nama bangsa ini, ribuan lainnya putus sekolah. Sedangkan timnas sepakbola kita selalu gagal bahkan di tingkat kualifikasi, tim junior kita mungkin juara empat di pentas danone nation cup, mengalahkan italia, inggris dan banyak negara dengan sejarah sepakbola yang lebih baik dari kita, tapi begitu mereka beranjak dewasa maka persoalan yang menimpa senior mereka akibat buruknya manajemen diwariskan pula kepad generasi berprestasi ini. Membuat kita takkan pernah bisa masuk ke piala dunia. Ironis.


Ali ‘ buschen’ Husen
Akuntansi UNPAD 2007

No comments: